Aku melihat sebuah rumah indah disana, dikelilingi kebun2 buah dan parit2 kecil yang dialiri air yang sangat jernih. Sebenarnya fisik rumah itu tidak terlalu bagus tapi melihatnya seperti damai dan sejuk. Apalagi ketika disinari cahaya matahari, rumah itu benar2 seperti dalam dongeng. Aku berjalan mendekatinya, semakin mendekat, rumah itu semakin nampak sangat terawat meski sangat sederhana. "oh, seperti mimpi. Ini rumah yang kuimpikan."
Aku menjajaki satu persatu anak tangga yang terbuat dari kayu, dan... oh, ada satu anak tangga yang agak sedikit lapuk tapi masih kuat untuk menanggung beban tubuhku ketika menginjaknya. Lapuknya itu mungkin saja akibat binatang kecil yang tak terlihat oleh penghuninya. Mungkin nanti akan kuberitahu dia jika bertemu nanti, kalau rumahnya ada yang terlewatkan untuk dirawat.
Tepat didepan pintu, kusempatkan untuk melihat2 dulu, apakah ada penghuninya atau tidak. Jendelanya tertutup gorden berwarna biru laut, dan lampunya menyala. Pasti ada orang disana. Tak sabar rasanya ingin bertemu pemilik rumah ini. Semoga saja aku diijinkan masuk dan dapat berisitrahat sejenak. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Hingga berkali2, barulah pemiliknya membuka pintu untukku.
"Ah, ini pasti sang pemilik rumah," tuturku dalam hati. Senyumnya sungguh menawan, tuturnya pun serasa angin segar yang membelai jiwaku saat dia mengucapkan salam. Aku membalasnya.
"Maaf, aku tersesat. Disini banyak rumah, tapi kulihat hanya rumahmu yang berbeda. Jadi aku putuskan untuk kesini saja.
"Kenapa kau memilih rumahku," tanya pemilik rumah.
"Entahlah, mata dan hatiku menginginkan aku untuk menuju ke sini. Maafkan aku.
"Tidak apa, masuklah."
Itu adalah kalimat yang aku tunggu2 sejak tadi.
Tak kusia2kan waktu untuk lebih lama berada diluar. Aku mengikuti pemilik rumah dari belakang. Sesekali angin menghantam tubuhku dengan lembut, mengiringi langkahku, dan seakan bernyanyi di telingaku. Membuatku sedikit merinding. Seperti nyanyian puja kepada Sang Pencipta.
Setiba didalam rumah sang pemilik mempersilahkan aku duduk, lalu menyuguhkan minuman hangat. Hmm, minuman ini rasanya lezat sekali. Baru hari ini aku menemukan minuman seperti ini. Sangat menenangkan.
"Terima kasih sudah mempersilahkan aku masuk dan menikmati secangkir minuman hangat ini."
"Iya," jawab pemilik rumah singkat dengan senyuman khasnya yang sejak tadi telah ia tebar.
Kami berbicara banyak. Nampaknya pemilik rumah sangat ramah. Aku sangat senang sekali.
Namun, disela2 percakapan kami, aku dikejutkan dengan seorang wanita cantik yang tersenyum padaku di sudut salah satu ruang di rumah ini. Tapi, ia hanya nampak seperti bayangan.
"Maaf, jika aku lancang bertanya. Apakah dia istrimu?"
Pemilik rumah tersenyum lagi. "Kau pasti sedang melihat wanita itu. Dia salah satu bidadariku."
"Bidadari?" tanyaku. "Tapi dia hanya bayangan."
"Dia memang hanya bayangan. Kau tahu, rumah ini sangat istimewa. Rumah ini akan menampakkan siapa saja yang memikirkan aku dan yang aku pikirkan."
"Maksudnya?"
"Iya, rumah ini akan memperlihatkan getaran hatiku kepada seseorang dan getaran hati orang itu kepadaku. Dan yang kau lihat tadi itu adalah getaran hatiku padanya."
"Tapi, bagaimana bisa? bayangan itu..."
"Memang, bidadariku itu hanya akan nyata di rumah ini jika getaranku menyatu dengan getaran hatinya."
"Tapi, kenapa kau tidak menyatukan getaranmu?"
"Getaranku untuknya, namun getaran bidadariku telah menyatu dengan pemilik getaran yang lainnya."
=========
2 hari berlalu setelah rumah dan percakapan tentang bidadari itu. Aku kembali ke rumah itu lagi. Dan si pemilik rumah itu tetap menyambutku seperti beberapa hari yang lalu. Tak ada yang berubah. Minuman dan senyumnya serta kalimat2 penyejuknya. Aku seperti ketagihan akan semua hal itu. Seperti doping saja yang membuatku semangat. Tapi, ada hal yang kurasa bertambah. Wanita yang disebut bidadari itu semakin bertambah. "Ya Tuhan, Begitu banyak bidadari yang tengah menggetarkan hati untuknya. Dan tak satupun dibalasnya," lirihku dalam hati. Dan tanpa aku sadari, ada perasaan yang tiba2 berubah padaku. Jantungku seperti dihantam palu. Apa aku juga mulai seperti pada bidadari itu?
Kenapa, wanita itu kau sebut bidadari?" tanyaku.
"Karena kelembutan dan pengetahuaanya."
"Pengetahuan apa?"
"Tentang Qalam2 Allah."
"Begitu ya."
=============
Percakapan kami usai. dan sepanjang perjalan pulang, aku terus memikirkan pemilik rumah dan kalimat2nya. Bidadari. Sekali lagi jantungku berdetak keras. Mungkin kan aku akan menjadi seorang bidadari juga didalam rumah itu? Tapi...meski bisa, mungkin hanya akan jadi bayangan saja selamanya.
Hari2 berikutnya aku datang lagi dan tetapa sama, yang berubah hanya jumlah bidadari itu. Bidadari banyangan. Dan dengan segala keberanian aku bertanya.
"Aku menyukaimu, tapi kenapa bayanganku tidak ada disana?"
Pemilik rumah hanya tersenyum, tapi kali ini sedikit berbeda. "Mungkin, rumah ini menganggap kau tidak sama dengan yang lainnya."
Hingga suatu ketika saat baru saja pulang dari rumah itu, aku melamun sepanjang perjalanan. Kenapa bayanganku tak nampak di rumah itu. aku menyukai pemilik rumah itu.
Aku berhenti di tepi jalan dan terus saja berpikir tentang banyangan itu. Hingga tiba2 seseorang menepuk pundakku dari belakang. Seorang lelaki tua yang berpakaian compang camping dan tubuhnya kelihatan kotor. Sangat lusuh. Dia menengadahkan telapak tangannya seraya berkata, "Berikan uangmu. Aku lapar dan belum makan."
Perihal bayangan itu tiba2 hilang berganti kaget. "Bapak...belum makan?"
"Iya," jawab bapak itu.
Aku merogoh kantung celanaku dan kukeluarkan isinya. Setelah kulihat, ternyata uangku tinggal 5ribu saja. "Ah, maaf bapak, apakah ini cukup. Yang aku punya hanya segini."
"Kau ikhlas?"
"Ah, tentu saja. Jika tidak, mana mungkin aku keluarkan."
"Baiklah kalau begitu itu cukup. Tapi, kakiku sudah lelah. aku tidak mampu lagi berjalan untuk mencari makan. Apakah kau bisa menolongku untuk membelikan aku makanan?"
Ahh...Orang tua ini banyak maunya, dalam hatiku. Aku lalu menengok kanan kiri. Hmm, baiklah, menolong jangan setelah-setengah. Kebetulan ujung jalan ini ada warung makan. "Baiklah, bapak . Bapak menepi ke sana dulu. Aku akan membelikan bapak makanan."
========
Aku memandangi bapak tua yang duduk di sebelahu. Makannya sangat lahap. Sepertinya dia benar2 kelaparan. Hmm, senang melihatnya.
"Alhamdulillah. Terima kasih, nak," ucap bapak itu setelah makanannya telah dia santap hingga tak satu butir nasipun sisa.
"Iya, sama2."
"Kamu tadi sedang melamun di tepi jalan. Ada apa?"
"Oh, itu. tidak ada apa2 kok, pak?"
"Hmm...Baiklah kalau begitu. Bapak Pamit dulu. Ingin mencari rezeki selanjutnya.
"Iya," aku tersenyum sambil mengangguk.
Bapak itu beranjak dari balai2 di bahu jalan. Sebelum dia bener2 menghilang dari hadapanku, bapak itu kembali berbalik arah dan berdiri tepat dihadapanku.
"Loh, bapak kenapa balik lagi?"
"Jangan pernah berpikir untuk menjadi orang lain. Jangan pernah berpikir bahwa menjadi orang lain akan membuatmu senang. Jadi dirimu yang sekarang dan orang akan menganggapmu bidadari meski dari sisi yang berbeda."
"Maksud, bapak?"
"Cinta yang menjadikanmu orang lain tidak akan berguna. Berubahlah dengan panggilan hati dan jiwamu, maka kau tidak akan menjadi orang lain. Oh ya, satu lagi. Kau tak perlu menjadi bidadari hanya untuk mendapatkan cinta."
Aku menjajaki satu persatu anak tangga yang terbuat dari kayu, dan... oh, ada satu anak tangga yang agak sedikit lapuk tapi masih kuat untuk menanggung beban tubuhku ketika menginjaknya. Lapuknya itu mungkin saja akibat binatang kecil yang tak terlihat oleh penghuninya. Mungkin nanti akan kuberitahu dia jika bertemu nanti, kalau rumahnya ada yang terlewatkan untuk dirawat.
Tepat didepan pintu, kusempatkan untuk melihat2 dulu, apakah ada penghuninya atau tidak. Jendelanya tertutup gorden berwarna biru laut, dan lampunya menyala. Pasti ada orang disana. Tak sabar rasanya ingin bertemu pemilik rumah ini. Semoga saja aku diijinkan masuk dan dapat berisitrahat sejenak. Akhirnya, aku memberanikan diri untuk mengetuk pintu. Hingga berkali2, barulah pemiliknya membuka pintu untukku.
"Ah, ini pasti sang pemilik rumah," tuturku dalam hati. Senyumnya sungguh menawan, tuturnya pun serasa angin segar yang membelai jiwaku saat dia mengucapkan salam. Aku membalasnya.
"Maaf, aku tersesat. Disini banyak rumah, tapi kulihat hanya rumahmu yang berbeda. Jadi aku putuskan untuk kesini saja.
"Kenapa kau memilih rumahku," tanya pemilik rumah.
"Entahlah, mata dan hatiku menginginkan aku untuk menuju ke sini. Maafkan aku.
"Tidak apa, masuklah."
Itu adalah kalimat yang aku tunggu2 sejak tadi.
Tak kusia2kan waktu untuk lebih lama berada diluar. Aku mengikuti pemilik rumah dari belakang. Sesekali angin menghantam tubuhku dengan lembut, mengiringi langkahku, dan seakan bernyanyi di telingaku. Membuatku sedikit merinding. Seperti nyanyian puja kepada Sang Pencipta.
Setiba didalam rumah sang pemilik mempersilahkan aku duduk, lalu menyuguhkan minuman hangat. Hmm, minuman ini rasanya lezat sekali. Baru hari ini aku menemukan minuman seperti ini. Sangat menenangkan.
"Terima kasih sudah mempersilahkan aku masuk dan menikmati secangkir minuman hangat ini."
"Iya," jawab pemilik rumah singkat dengan senyuman khasnya yang sejak tadi telah ia tebar.
Kami berbicara banyak. Nampaknya pemilik rumah sangat ramah. Aku sangat senang sekali.
Namun, disela2 percakapan kami, aku dikejutkan dengan seorang wanita cantik yang tersenyum padaku di sudut salah satu ruang di rumah ini. Tapi, ia hanya nampak seperti bayangan.
"Maaf, jika aku lancang bertanya. Apakah dia istrimu?"
Pemilik rumah tersenyum lagi. "Kau pasti sedang melihat wanita itu. Dia salah satu bidadariku."
"Bidadari?" tanyaku. "Tapi dia hanya bayangan."
"Dia memang hanya bayangan. Kau tahu, rumah ini sangat istimewa. Rumah ini akan menampakkan siapa saja yang memikirkan aku dan yang aku pikirkan."
"Maksudnya?"
"Iya, rumah ini akan memperlihatkan getaran hatiku kepada seseorang dan getaran hati orang itu kepadaku. Dan yang kau lihat tadi itu adalah getaran hatiku padanya."
"Tapi, bagaimana bisa? bayangan itu..."
"Memang, bidadariku itu hanya akan nyata di rumah ini jika getaranku menyatu dengan getaran hatinya."
"Tapi, kenapa kau tidak menyatukan getaranmu?"
"Getaranku untuknya, namun getaran bidadariku telah menyatu dengan pemilik getaran yang lainnya."
=========
2 hari berlalu setelah rumah dan percakapan tentang bidadari itu. Aku kembali ke rumah itu lagi. Dan si pemilik rumah itu tetap menyambutku seperti beberapa hari yang lalu. Tak ada yang berubah. Minuman dan senyumnya serta kalimat2 penyejuknya. Aku seperti ketagihan akan semua hal itu. Seperti doping saja yang membuatku semangat. Tapi, ada hal yang kurasa bertambah. Wanita yang disebut bidadari itu semakin bertambah. "Ya Tuhan, Begitu banyak bidadari yang tengah menggetarkan hati untuknya. Dan tak satupun dibalasnya," lirihku dalam hati. Dan tanpa aku sadari, ada perasaan yang tiba2 berubah padaku. Jantungku seperti dihantam palu. Apa aku juga mulai seperti pada bidadari itu?
Kenapa, wanita itu kau sebut bidadari?" tanyaku.
"Karena kelembutan dan pengetahuaanya."
"Pengetahuan apa?"
"Tentang Qalam2 Allah."
"Begitu ya."
=============
Percakapan kami usai. dan sepanjang perjalan pulang, aku terus memikirkan pemilik rumah dan kalimat2nya. Bidadari. Sekali lagi jantungku berdetak keras. Mungkin kan aku akan menjadi seorang bidadari juga didalam rumah itu? Tapi...meski bisa, mungkin hanya akan jadi bayangan saja selamanya.
Hari2 berikutnya aku datang lagi dan tetapa sama, yang berubah hanya jumlah bidadari itu. Bidadari banyangan. Dan dengan segala keberanian aku bertanya.
"Aku menyukaimu, tapi kenapa bayanganku tidak ada disana?"
Pemilik rumah hanya tersenyum, tapi kali ini sedikit berbeda. "Mungkin, rumah ini menganggap kau tidak sama dengan yang lainnya."
Hingga suatu ketika saat baru saja pulang dari rumah itu, aku melamun sepanjang perjalanan. Kenapa bayanganku tak nampak di rumah itu. aku menyukai pemilik rumah itu.
Aku berhenti di tepi jalan dan terus saja berpikir tentang banyangan itu. Hingga tiba2 seseorang menepuk pundakku dari belakang. Seorang lelaki tua yang berpakaian compang camping dan tubuhnya kelihatan kotor. Sangat lusuh. Dia menengadahkan telapak tangannya seraya berkata, "Berikan uangmu. Aku lapar dan belum makan."
Perihal bayangan itu tiba2 hilang berganti kaget. "Bapak...belum makan?"
"Iya," jawab bapak itu.
Aku merogoh kantung celanaku dan kukeluarkan isinya. Setelah kulihat, ternyata uangku tinggal 5ribu saja. "Ah, maaf bapak, apakah ini cukup. Yang aku punya hanya segini."
"Kau ikhlas?"
"Ah, tentu saja. Jika tidak, mana mungkin aku keluarkan."
"Baiklah kalau begitu itu cukup. Tapi, kakiku sudah lelah. aku tidak mampu lagi berjalan untuk mencari makan. Apakah kau bisa menolongku untuk membelikan aku makanan?"
Ahh...Orang tua ini banyak maunya, dalam hatiku. Aku lalu menengok kanan kiri. Hmm, baiklah, menolong jangan setelah-setengah. Kebetulan ujung jalan ini ada warung makan. "Baiklah, bapak . Bapak menepi ke sana dulu. Aku akan membelikan bapak makanan."
========
Aku memandangi bapak tua yang duduk di sebelahu. Makannya sangat lahap. Sepertinya dia benar2 kelaparan. Hmm, senang melihatnya.
"Alhamdulillah. Terima kasih, nak," ucap bapak itu setelah makanannya telah dia santap hingga tak satu butir nasipun sisa.
"Iya, sama2."
"Kamu tadi sedang melamun di tepi jalan. Ada apa?"
"Oh, itu. tidak ada apa2 kok, pak?"
"Hmm...Baiklah kalau begitu. Bapak Pamit dulu. Ingin mencari rezeki selanjutnya.
"Iya," aku tersenyum sambil mengangguk.
Bapak itu beranjak dari balai2 di bahu jalan. Sebelum dia bener2 menghilang dari hadapanku, bapak itu kembali berbalik arah dan berdiri tepat dihadapanku.
"Loh, bapak kenapa balik lagi?"
"Jangan pernah berpikir untuk menjadi orang lain. Jangan pernah berpikir bahwa menjadi orang lain akan membuatmu senang. Jadi dirimu yang sekarang dan orang akan menganggapmu bidadari meski dari sisi yang berbeda."
"Maksud, bapak?"
"Cinta yang menjadikanmu orang lain tidak akan berguna. Berubahlah dengan panggilan hati dan jiwamu, maka kau tidak akan menjadi orang lain. Oh ya, satu lagi. Kau tak perlu menjadi bidadari hanya untuk mendapatkan cinta."
~~~~~happy valentine~~~~~
Tidak ada komentar:
Posting Komentar